Bulukumba, Beranda.News – Di antara debur ombak dan hembusan angin dari laut selatan Sulawesi, lahirlah dua suku besar yang tak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga di mancanegara: Bugis dan Makassar. Bukan hanya soal keberanian pelautnya, tapi juga tentang budaya yang lekat dengan nilai-nilai harga diri, adat, dan solidaritas.
Dalam budaya Bugis, konsep “Siri’ na Pacce” menjadi roh kehidupan. Siri’, atau harga diri, adalah benteng terakhir yang dijaga dengan penuh kehormatan. Sementara Pacce adalah rasa empati dan solidaritas terhadap sesama. Dua nilai ini membentuk watak keras namun lembut, penuh semangat tapi tetap beradab.
Di sisi lain, masyarakat Makassar dikenal dengan filosofi hidupnya yang lugas dan jujur, salah satunya tergambar dalam pepatah “Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase Dewata” — usaha yang sungguh-sungguh tak akan mengkhianati hasil, karena rahmat Tuhan akan datang pada mereka yang tekun.

Also Read
Keduanya adalah suku pelaut ulung. Dari masa ke masa, perahu Phinisi — mahakarya masyarakat Bulukumba — mengarungi samudera, menjadi simbol ketangguhan orang Bugis-Makassar menaklukkan dunia lewat jalur laut. Namun budaya mereka tak hanya tentang laut. Rumah adat panggung, upacara adat pernikahan, bahasa yang kaya, dan seni ukir yang rumit menjadi bukti kekayaan warisan nenek moyang.
Di tengah modernisasi, identitas ini tak luntur. Anak muda Bugis-Makassar kini banyak yang kembali belajar Lontara’, huruf kuno yang menjadi bukti peradaban tinggi leluhur mereka. Sementara para orang tua tetap menjadi penjaga cerita, menghidupkan kisah kerajaan-kerajaan masa lalu di sore hari yang tenang.
Budaya Bugis-Makassar adalah bukti bahwa kearifan lokal bisa tetap hidup berdampingan dengan zaman. Mereka bukan hanya menjaga adat, tapi merawat jati diri.