Bulukumba, Beranda.News – Di tengah derasnya arus informasi dan gelombang modernisasi, para intelektual muda dihadapkan pada dilema besar: tetap berpihak pada realitas sosial atau terjebak dalam simbolisme intelektual yang kehilangan makna.
Fenomena ini menjadi keprihatinan tersendiri, terutama di kalangan pemuda Bulukumba yang semestinya mewarisi dan merawat akar intelektual yang telah dibangun oleh tokoh-tokoh besar masa lalu.
Ironisnya, banyak intelektual hari ini justru menjadi pemutus mata rantai dari akar intelektual itu sendiri. Gelar akademik dan akses terhadap ilmu pengetahuan tidak serta-merta melahirkan keberanian moral dan kejernihan berpikir. Intelektual kini lebih sering tampil sebagai simbol prestise ketimbang agen perubahan. Kita sibuk mengutip, namun enggan mempertanyakan. Mahir menguraikan, tapi lupa mendalami makna.

Also Read
“Inilah luka sunyi dalam gelapnya dunia pemikiran kita,” tulis Muhammad Asdar, Ketua Bidang Pembinaan Anggota HMI Cabang Bulukumba, dalam artikelnya.
Menurutnya, warisan intelektual yang mestinya membumi dan membebaskan, justru dimatikan oleh tangan-tangan yang mengaku mewarisinya.
Asdar mempertanyakan: untuk siapa dan demi apa pengetahuan itu dirawat? Bila intelektualitas hanya berujung pada menara gading dan kehilangan keberpihakan terhadap realitas sosial, maka kematian akar intelektual tak terelakkan.
Ia mengingatkan kembali pada sosok-sosok seperti Soedjatmoko, Tan Malaka, Abdurrahman Wahid, Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Dahlan, Cak Nur, dan Franz Magnis-Suseno, yang lahir dari pergulatan batin mendalam dengan realitas rakyat. Para tokoh ini tak hanya menguasai teori, tapi juga menyelami kehidupan sosial, merasakan luka kolektif, lalu merumuskannya dalam bentuk kesadaran kritis.
Berbeda dengan masa kini, menurut Asdar, banyak intelektual terjebak dalam euforia diskusi ruang kopi, tenggelam dalam seminar-seminar, namun kehilangan empati sosial. Sistem akademik yang lebih mementingkan kuantitas publikasi daripada kualitas pemikiran turut andil dalam membentuk generasi intelektual teknokrat—cakap dalam data, lihai membangun solidaritas semu, tetapi kering makna.
“Ke depan, generasi muda seperti saya berharap bahwa pengetahuan tidak sekadar menjadi domain akumulasi informasi, melainkan hasil dari perenungan etis di tengah derasnya problematika sosial,” tulisnya.
Asdar juga menegaskan bahwa di Bulukumba, akar intelektual sejati tumbuh dari sejarah, budaya, dan nilai-nilai lokal. Pengetahuan, katanya, harus selalu berpijak pada perjuangan kelas sosial yang diridhai Tuhan. “Kita bukanlah pemuda dengan narasi dominan yang siap dijadikan intelek sewaan,” tegasnya.