Beranda.News-Dalam sejarah bangsa ini, suara lantang selalu memiliki tempat istimewa. Ia menjadi alat perlawanan, penanda perjuangan, dan simbol keberanian. Dari ruang sidang DPR hingga jalanan penuh debu demonstrasi, suara itu pernah mewakili harapan orang-orang kecil yang tak bisa bicara, tak punya akses, dan tak punya kekuatan.
<Namun hari ini, suara itu terdengar berbeda. Tetap lantang, tetap nyaring, tetapi tak lagi mewakili banyak orang. Ia telah menyempit. Tidak lagi menggema untuk rakyat banyak, tapi bergema untuk kelompok, untuk barisan, bahkan untuk satu dua individu yang sedang menjaga pengaruh dan kepentingan.
Di ruang-ruang kebijakan, di podium-podium formal, dan bahkan di media sosial yang bising, suara-suara yang seharusnya menyejukkan dan menegakkan keadilan, berubah menjadi alat serang, pengalihan isu, atau tameng untuk membela status quo. Keberanian kini lebih sering diarahkan pada perbedaan pendapat, bukan pada ketimpangan yang nyata.

Also Read
Lalu ke mana suara rakyat?
Ia tenggelam, tak diundang dalam forum-forum besar. Ia hanya hadir sebagai kutipan sepihak: “rakyat butuh ini, rakyat ingin itu” — tanpa benar-benar mendengar apa isi hati rakyat yang sesungguhnya. Yang penting bukan apa yang rakyat perlukan, tetapi apa yang bisa dijadikan narasi populer untuk mengamankan kursi dan mengukuhkan posisi.
Ini bukan soal institusi. Bukan pula soal oposisi atau pemerintah. Ini soal nurani. Soal bagaimana kita hari ini mulai terbiasa melihat orang bersuara lantang bukan untuk menyuarakan kebenaran, tapi untuk menjaga kenyamanan kelompoknya.
Padahal dalam sistem demokrasi yang sehat, suara adalah alat koreksi. Kritik bukanlah ancaman, tapi vitamin agar kekuasaan tetap waras. Tapi sekarang, kritik dianggap serangan. Diskusi dianggap perpecahan. Beda pendapat dianggap bentuk makar. Maka tak heran jika suara-suara jujur mulai memilih diam. Sebab lantang pun tak ada gunanya jika terus dibungkam atau dipelintir.
Namun harapan belum mati. Saya percaya, masih banyak suara yang murni. Mungkin tidak punya panggung. Mungkin tak viral. Tapi mereka tetap ada — di ruang kelas guru honorer yang tetap mengajar meski gaji tak seberapa, di ladang petani yang tetap menanam meski harga tak stabil, di bibir pantai nelayan yang tetap melaut meski bahan bakar mahal.
Mereka tidak lantang, tapi tulus. Tidak keras, tapi nyata. Dan suara merekalah yang mestinya terus kita jaga dan dengar.
Sebagai bangsa, kita harus kembali pada tujuan awal dari suara: menyuarakan yang lemah, bukan memperkuat yang sudah kuat. Menjadi corong bagi yang tidak punya saluran, bukan memperkeras gema kepentingan elit.
Kita tidak kekurangan orang pintar. Tapi kita sedang krisis kejujuran dalam bersuara. Saatnya kita bertanya kembali: untuk siapa suara ini kita keluarkan? Untuk rakyat, atau hanya untuk kita dan kelompok kita saja?
Oleh : Sudirman S.Sos (Pung Saso)