BULUKUMBA, Beranda.News — Banjir yang kerap melanda wilayah Kota Bulukumba belakangan ini tidak bisa semata-mata dianggap sebagai bencana alam dalam arti konvensional. Jika ditelusuri lebih dalam, peristiwa ini mencerminkan akumulasi dari kebijakan pembangunan yang mengabaikan prinsip tata ruang dan keberlanjutan lingkungan.
Genangan air yang merendam rumah warga, memutus akses jalan, hingga merusak fasilitas umum menjadi bukti nyata dari kegagalan kolektif dalam merencanakan masa depan kota secara menyeluruh. Salah satu contoh paling mencolok adalah alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan permukiman.
Kawasan seperti BTN Bayu Perdana hingga BTN di Desa Panre Lompoa, serta area pembangunan Toko Sejahtera di Kelurahan Caile, dulunya merupakan hamparan sawah yang tak hanya menjadi sumber penghidupan petani, tetapi juga berfungsi sebagai daerah resapan air alami. Kini, lahan-lahan tersebut telah berubah menjadi permukiman tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang.

Also Read
Hilangnya area resapan menyebabkan air hujan tidak lagi terserap oleh tanah, melainkan mengalir deras ke wilayah dataran rendah yang dihuni warga. Akibatnya, banjir menjadi lebih sering terjadi dan dampaknya semakin parah.
Pembangunan skala kecil yang kerap dianggap sepele pun menyumbang pada krisis ekologis ini. Tanpa perencanaan matang, proyek-proyek tersebut memperparah hilangnya ruang-ruang penampungan alami. Air yang dulunya terserap ke dalam tanah kini menggenang dan meluap, menandai putusnya harmoni antara manusia dan lingkungan.
Ferdy, mantan kader PMII Bulukumba, menegaskan bahwa daerah ini tengah mengalami krisis tata ruang yang serius. Ia menyoroti maraknya alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan komersial yang dilakukan tanpa melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) maupun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Ini bukan semata persoalan administratif-teknis, tetapi menyangkut keadilan ekologis. Masyarakat yang tinggal di hilir menjadi korban langsung dari keputusan yang mereka tidak pernah dilibatkan, sementara keuntungan justru dinikmati oleh pihak lain,” tegas Ferdy.
Ia mendesak pemerintah daerah untuk lebih serius dalam menerapkan prinsip keberlanjutan pada setiap kebijakan pembangunan. Setiap rencana alih fungsi lahan, menurutnya, harus melalui proses kajian lingkungan yang transparan dan melibatkan partisipasi publik secara bermakna.
Dengan intensitas banjir yang kian meningkat dan dampaknya yang semakin meluas, sudah saatnya Bulukumba melakukan refleksi dan pembenahan menyeluruh dalam tata kelola ruang dan lingkungannya. Tanpa perubahan mendasar, bencana demi bencana hanya akan menjadi siklus yang terus berulang.