Bulukumba, Beranda.News – Dalam wacana pembangunan berkelanjutan, industrialisasi berbasis pertanian menjadi pilar utama yang kerap dibahas dalam lingkup akademik dan aktivisme. Salah satu contoh nyata adalah hadirnya pabrik pengolahan porang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang kini menjadi pusat perhatian bukan hanya karena manfaat ekonominya, namun juga karena dinamika sosial-lingkungan yang menyertainya.
Isranda Lattol, Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bulukumba, memandang keberadaan pabrik porang bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga sebagai momentum strategis dalam transformasi sosial-ekonomi masyarakat.
“Secara pribadi saya sangat mendukung adanya pabrik porang di Bulukumba, karena dampaknya sangat luar biasa bagi perekonomian lokal,” ujar Lattol saat ditemui di Bulukumba, Senin, 21 Juli 2025.

Also Read
Pernyataan tersebut lahir dari fakta lapangan. Harga jual porang di tingkat petani mengalami peningkatan signifikan setelah pabrik mulai beroperasi. Ini menandai perubahan struktur ekonomi masyarakat agraris yang sebelumnya bergantung pada komoditas tradisional, menuju pada penguatan sektor hortikultura industrial.
Menurut Lattol, desanya, Desa Tamaona, adalah salah satu contoh keberhasilan transformasi itu. “Uang yang masuk saat panen porang sudah miliaran. Ini tentu baik untuk perputaran ekonomi masyarakat. Warga bisa menyekolahkan anaknya lebih tinggi, bisa membangun rumah, bisa menabung,” tambahnya.
Tantangan dan Etika Ekologis
Namun dalam setiap proses industrialisasi, selalu ada dialektika antara manfaat ekonomi dan potensi dampak ekologis. Kritik terhadap operasional pabrik porang terutama terkait limbah dan perizinan bukanlah hal yang bisa diabaikan. Tetapi menurut Lattol, kritik harus disertai dengan basis data dan alternatif solusi yang realistis.
“Kritik itu wajar, tetapi kita tidak bisa hanya mengecam tanpa tawaran solusi. Kalau ada limbah, harus dimitigasi. Kalau dokumen perizinan belum lengkap, kita bantu fasilitasi. Itulah fungsi kontrol sosial yang beretika dan produktif,” tegasnya.
Sebagai aktivis mahasiswa, Lattol menekankan pentingnya kolaborasi antara petani, pengusaha, pemerintah, dan akademisi untuk menciptakan ekosistem agribisnis yang sehat. Ia menolak pendekatan destruktif yang hanya menyuarakan penolakan tanpa upaya rekonsiliasi atau perbaikan sistem.
“Jangan buat petani putus asa dengan tindakan yang bisa membuat mereka merasa dikhianati. Kita ini akademisi, kita aktivis. Tugas kita bukan menghancurkan, tapi memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dengan nalar kritis dan aksi solutif,” tutupnya.
Porang sebagai Jalan Tengah
Porang tidak hanya tumbuh di ladang, tetapi kini tumbuh sebagai simbol pergeseran paradigma ekonomi lokal. Dengan nilai ekspor tinggi, permintaan internasional yang meningkat, serta adaptasi teknologi pertanian yang terus berkembang, Bulukumba punya peluang besar menjadi model agribisnis porang yang berkelanjutan dan kompetitif.
Namun keberhasilan jangka panjang hanya bisa dicapai jika semua pihak bekerja dalam kerangka kolaboratif. Pemerintah sebagai regulator, pengusaha sebagai motor ekonomi, masyarakat sebagai pelaku utama, dan aktivis sebagai penyeimbang harus duduk bersama menyusun peta jalan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.

















